Sinergi Perikanan Budi daya dengan Perairan Umum Daratan
oleh M Ambari [Jakarta] di 23 January 2020
Meningkatkan kesejahteraan pembudi daya ikan dan sekaligus mempertahankan kelestarian ekosistem perairan umum daratan (PUD) dan daerah aliran sungai (DAS), menjadi misi ganda yang dijalankan Pemerintah Indonesia pada sub sektor perikanan budi daya
Untuk mewujudkan misi di atas, maka Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai menguji coba penerapan teknologi cultured bases fisheries (CBF) atau teknik perikanan berbasis budi daya dengan memanfaatkan makanan alami yang tersedia
Teknologi tersebut menjadi rujukan, karena dinilai bisa mengatasi persoalan penurunan mutu air pada kolam budi daya yang diakibatkan mengendapnya sisa pakan ikan yang ditebar. Dengan CBF, sisa makanan tersebut akan dimakan sampai habis oleh ikan pemakan bahan organik, plankton, atau gulma air
Penerapan uji coba CBF sendiri dilaksanakan di waduk Jatiluhur (Purwakarta) dan kawasan sungai mati pada DAS Citarum (Jawa Barat). Selain itu, tiga kawasan setu atau danau seluas hampir sepuluh hektare di Jabodetabek dan Embung Pangandaran (Pangandaran) juga dipilih untuk lokasi uji coba CBF
Pelestarian perairan umum darat (PUD) dan daerah aliran sungai (DAS), menjadi salah satu fokus Pemerintah Indonesia saat ini yang dilakukan melalui sub sektor perikanan budi daya. Pelestarian kedua aliran air itu menjadi penting, karena bisa mendukung pelestarian alam secara keseluruhan dan sekaligus menjaga kualitas air untuk usaha budi daya perikanan.
Salah satu upaya untuk mewujudkan itu, adalah dengan menerapkan prinsip cultured bases fisheries (CBF) atau teknik perikanan berbasis budi daya dengan memanfaatkan makanan alami yang tersedia. Teknik tersebut, diklaim bisa menghindari penurunan mutu air karena penyuburan kolam budi daya secara berlebihan.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto mengatakan, teknologi CBF adalah teknologi yang ramah lingkungan dan sekaligus bernilai ekonomi tinggi jika para pembudi daya ikan skala kecil dan besar mau menerapkannya pada kolam budi daya masing-masing.
“Kita akan terus mengembangkan pengelolaan perairan umum daratan berbasis CBF,” ungkapnya di Jakarta, pekan lalu
Menurut dia, konsep CBF sangat cocok untuk diterapkan pada PUD, karena pengelolaannya lebih terukur, dapat menjadi alternatif usaha masyarakat, dan tidak berdampak negatif pada fungsi utama perairan. Untuk itu, konsep CBF dinilai menjadi model yang efekrif untuk pengelolaan perikanan berkelanjutan, khususnya untuk PUD.
Dengan menggunakan konsep CBF, benih ikan dari hasil budi daya dan ditebar melalui program restocking, akan dibiarkan tumbuh secara alami pada kolam budi daya dengan memanfaatkan pakan alami yang tersedia hingga mencapai ukuran siap konsumsi.
Slamet mengatakan, penerapan konsep CBF pada budi daya perikanan, menjadi konsep yang tepat karena bisa menghindari penurunan mutu air akibat penyuburan berlebihan. Dengan CBF, maka ikan yang ditebar akan dibiarkan menghabiskan sisa pakan ikan yang masih ada.
“Perlu penebaran ikan pemakan bahan organik, plankton, atau gulma air. Hal ini sebagai upaya untuk memulihkan hasil tangkapan yang cenderung menurun di perairan umum daratan,” ujar dia.
Dengan prinsip ramah lingkungan yang diterapkan pada konsep CBF, Slamet menyebutkan kalau konsep tersebut juga bisa bermanfaat untuk peningkatan ekonomi masyarakat, baik itu di sektor perikanan, pariwisata, dan juga sektor lainnya. Potensi itu muncul, karena kualitas air akan lebih baik dan akan terjaga dengan signifikan.
“Saya yakin CBF akan memberikan multiplier effect, khususnya bagi masyarakat dan kepentingan daerah. Selain itu, dapat menambah peluang pekerjaan,” tuturnya.
Manfaat yang berlipat jika menggunakan konsep CBF tersebut, diharapkan bisa dirasakan oleh masyarakat perikanan yang melaksanakan usaha budi daya perikanan di seluruh Nusantara. Oleh itu, Slamet berharap kegiatan penambahan stok ikan tangkapan yang ditebar di perairan umum bisa dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dengan konsep CBF.
Manfaat
Dia mencontohkan, manfaat dari penerapan konsep CBF sudah lebih dulu dirasakan oleh masyarakat perikanan yang ada di negara seperti Sri Lanka, Tiongkok, dan India. Di ketiga negara tersebut, konsep CBF terbukti bisa mendorong peningkatan pendapatan masyarakat di hampir seluruh provinsi.
“Di Sri Lanka, setiap hasil tangkapan yang dilakukan dipungut semacam retribusi yang dilakukan oleh gabungan kelompok masyarakat nelayan atau pembudi daya di sana. Uang yang dikumpulkan nantinya bisa dibelikan benih ikan untuk restocking,” jelas dia.
Sebagai konsep yang baru, Slamet mengaku kalau penerapan CBF saat ini baru dilaksanakan tahap uji coba di waduk Jatiluhur di Kabupaten Purwakarta dan kawasan sungai mati (oxbow) di sepanjang DAS Citarum, Jawa Barat.
Kemudian, ada juga penerapan CBF sebagai bagian dari percontohan di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) di tiga situ atau danau yang mencapai luas hampir sepuluh hektare. Berikutnya, Embung Pangandaran yang ada di Kabupaten Pangandaran, juga direncanakan akan menjadi bagian dari uji coba penerapan CBF pada perairan umum daratan.
Slamet meyakini, jika konsep CBF berhasil diterapkan dengan maksimal, maka seluruh perairan umum daratan yang ada di waduk dan danau bisa terjaga dengan baik dari ancaman kelebihan nutrient (eutrofikasi). Selain itu, masyarakat yang terkena dampak rasionalisasi keramba jaring apung (KJA) juga bisa tetap mendapatkan penghasilan dari ikan hasil penerapan konsep CBF.
“Juga dapat mendorong kegiatan wisata berbasis perikanan,” tambah dia.
Dengan semua manfaat yang dihasilkan dari CBF, Slamet berharap semua stakeholder perikanan budi daya bisa bersama-sama menerapkan konsep tersebut untuk usaha budi daya perikanan pada perairan umum daratan. Melalui konsep tersebut juga, maka upaya pelestarian PUD dan DAS akan bisa dilakukan secara bersama.
“Ini menjadi kewajiban kita semua, lintas sektor. Perlu komitmen kuat antarpelaku usaha perikanan dengan pemerintah atas hak pengelolaan perikanan di PUD,” ungkap dia.
Di sisi lain, agar perikanan budi daya bisa terjaga dengan baik dan berkesinambungan, Slamet Soebjakto menyebutkan kalau pengaturan penggunaan alat penangkapan ikan (API) pada perairan budi daya harus dipantau dengan ketat. Tujuannya, agar ikan berukuran kecil yang belum layak panen tidak ikut tertangkap,
Diketahui, luas PUD di seluruh Indonesia mencapai 13,85 juta ha yang terdiri dari 12 juta ha sungai dan paparan banjir, 1,8 juta ha danau alam, dan sekitar 0,05 juta ha adalah danau buatan dan waduk. Di wilayah perairan tersebut, KKP terus melakukan restocking benih ikan hingga mencapai 130 juta ekor.
Teknologi
Sebelum CBF, Indonesia juga sudah mengenalkan teknologi microbubble yang dipakai untuk budi daya udang ultra intensif. Pengenalan teknologi tersebut dilakukan pada awal 2019 oleh Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP.
Kehadiran teknologi microbubble saat itu memiliki tujuan untuk mengatasi persoalan yang sering muncul saat pada usaha budi daya udang, khususnya udang ultra intensif. Hal itu diungkapkan oleh Kepala BRSDM KP Sjarief Widjaja.
Menurut dia, kendala yang biasa dihadapi, di antaranya adalah biaya listrik yang tinggi, modal yang besar untuk skala tambak, limbah yang tidak dikelola dengan baik, serangan penyakit, dan daya dukung lingkungan yang menurun.
“Yang paling sering dirasakan juga oleh para pembudi daya udang, terutama yang skala kecil seperti rumah tangga, budi daya udang hingga saat ini masih belum memberikan dampak secara ekonomi bagi mereka. Persoalan itu harus dipecahkan secara bersama,” ucap dia.
Menurut Sjarief, hingga sekarang pembudi daya skala kecil masih harus berjuang melawan pembudi daya skala besar dengan modal yang berlimpah. Selain itu, pembudi daya skala kecil juga masih harus berhadapan dengan masalah seperti keterbatasan lahan budi daya udang yang bergantung pada lahan di darat.
“Mengingat lokasi masih jauh dari sumber air laut atau payau,” jelas dia.
Untuk memecahkan persoalan tersebut, Sjarief menyebut kalau budi daya udang memerlukan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan dan berkelanjutan seperti microbubble. Teknologi tersebut menjadi pilihan, karena terintegrasi dengan teknologi recirculating aquaculture system (RAS).
Sjarief menjelaskan, teknologi microbubble dan RAS bisa dikembangkan di lahan dengan kepadatan lebih dari 1000 ekor per meter kubik atau ultra intensif dan bisa menghasilkan produksi udang menjadi lebih baik serta hasil yang lebih banyak. Capaian itu mengalahkan capaian tertinggi sebelunya untuk budi daya udang, yakni budi daya supra intensif.
“Jadi, sebelumnya itu maksimal hanya sanggup dengan kepadatan 400 ekor per meter kubik,” jelasnya.
Duet teknologi microbubble dan RAS juga memiliki kelebihan tidak perlu penggantian air, tidak ada limbah perikanan yang dibuang ke lingkungan, dan bisa diaplikasikan di tengah kota yang jauh dari sumber air laut, karena pengelolaan media air budidaya dilakukan secara berkelanjutan.
Kelebihan lainnya, kata Sjarief, adalah proses budi daya tidak memerlukan lagi penyifonan, yaitu proses pembuangan lumpur limbah sisa pakan dan kotoran udang. Sebagai gantinya, limbah padatan pada sistem ini akan ditangkap pada penyaring fisik dan akan dimanfaatkan untuk pupuk tanaman.
Referensi :
mongabay.co.id/2020/01/23/sinergi-perikanan-budi-daya-dengan-perairan-umum-daratan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar