Rabu, 30 Desember 2020

Budidaya Ikan Nila dengan Teknologi Bioflok

Budidaya Ikan Nila dengan Teknologi Bioflok 

        Ikan nila bisa menjadi salah satu komoditas air tawar potensial dikembangkan di Indonesia, karena nila bisa bertahan dari perubahan lingkungan, tumbuh dengan cepat, dan lebih resisten terhadap penyakit.Keunggulan tersebut menjadi kombinasi yang tepat dan pas untuk memicu produksi ikan nila secara nasional. Terlebih lagi, ikan nila semakin diminati masyarakat sehingga meningkatkan permintaan pasar yang tinggi. Konsumen penyuka nila tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.

        Direktur Jenderal Perikanan Budidaya (DJBP-KKP) Slamet Soebjakto pernah mengatakan, bahwa komoditas ekspor ikan nila terutama untuk ke Amerika Serikat dalam bentuk fillet. Oleh karena itu, produktivitasnya harus dipacu terus menerus. Melihat keunggulan dan keuntungan penggunaan teknologi bioflok, Slamet mendorong penguasaan dan penggunaan teknologi tersebut bisa semakin meluas ke berbagai pelosok Nusantara. Penyebaran teknologi tersebut salah satunya bakal dilakukan unit pelaksana teknis (UPT) Ditjen Perikanan Budi daya.

        Pelibatan UPT untuk penyebaran bioflok ke seluruh daerah, menurut Slamet, agar teknologi tersebut bisa tepat guna dan tidak keliru dalam penerapannya. Dengan kata lain, teknologi bioflok akan terasa keunggulan dan keuntungannya, jika mengikuti kaidah cara budi daya ikan yang baik.

“Seperti penggunaan benih unggul, pakan sesuai SNI (standar nasional Indonesia), serta pemantauan kualitas air budidaya,” jelasnya.

        Slamet meyakini teknologi ini mampu menyediakan sumber protein dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Teknologi bioflok mampu menyediakan dua hal sekaligus, yaitu program perbaikan gizi dan penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Salah satu daerah yang menerapkan bioflok untuk ikan nila, adalah Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, melalui ada kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) Indra Makmur. Menurut Ketua Pokdakan Indra Makmur Syamsul Bahari, dengan bioflok, ikan nila yang dihasilkan lebih gemuk dan kandungan air dalam daging lebih sedikit.

        Teknologi mutakhir bioflok digunakan dalambudi daya ikan nila. Ikan nila dipilih karena kelebihannya, seperti adaptif terhadap perubahan iklim Teknologi bioflok menjadi pilihan tepat untuk nila, karena menghemat biaya operasional dari efisiensi pakan, lebih hemat penggunaan air sehingga lebih ramah lingkungan dan sesuai prinsip berkelanjutan. Efisien pakan, terlihat dari nilai FCR yang rendah yaitu 1,05 dibanding budidaya konvensional dengan nilai 1,5. Artinya jika ingin menghasilkan ikan nila 1 kg, hanya diperlukan 1,05 kg pakan saja.

        Di Indonesia, penggunaan teknologi bioflok untuk budidaya, terutama nila masih belum merata. Untuk itu, Pemerintah menugaskan UPT di bawah Ditjen Perikanan Budidaya KKP untuk mengawal agar penggunaan teknologi tersebut bisa tepat guna dan tidak keliru dalam penerapannya. Prinsip keberlanjutan yang dianut teknologi bioflok untuk perikanan budidaya, dinilai sudah memberikan banyak keuntungan bagi pengembangan budi daya ikan. Teknologi ini meningkatkan jumlah produksi, sekaligus menggenjot pendapatan pembudidaya secara signifikan. Komoditas yang berhasil dikembangkan dengan teknologi bioflok, salah satunya adalah ikan nila.

        Slamet menjelaskan pengembangan teknologi bioflok untuk budidaya ikan nila semakin dirasakan manfaatnya oleh pembudidaya ikan. Salah satunya, karena berhasil meningkatkan kelangsungan hidup ikan nila secara signifikan. “Itu meningkat signifikan. Untuk kelangsungan hidup atau survival rate ikan nila dengan teknologi bioflok sudah berhasil mencapai angka 90 persen,” ungkap Slamet. Keunggulan lainnya, menurut Slamet, adalah tingkat penggunaan pakan menjadi semakin efisien, dan nilai feed conversion ratio (FCR) juga semakin rendah menjadi 1,05. Angka tersebut menunjukkan, jika pembudi daya ingin menghasilkan ikan nila sebanyak 1 kilogram, maka dibutuhkan pakan sebanyak 1,05 kg. Angka FCR terkini itu, kata Slamet, menurun drastis jika dibandingkan dengan pemeliharaan di kolam biasa, dengan nilai FCR bisa mencapai 1,5. FCR merupakan perbandingan berat pakan dengan berat total (biomass) ikan dalam satu siklus periode budi daya. Semakin turun angka FCR, maka semakin baik kualitas dan produksi budi daya yang dihasilkan.

        Teknologi bioflok pada budi daya ikan nila juga terbukti meningkatkan kepadatan dalam kolam. Jika menggunakan sistem konvensional, kepadatan maksimal hanya 10 ekor ikan nila/meter kubik, maka dengan menggunakan bioflok kepadatan menjadi 100 ekor/meter kubik. Menurut Slamet, keberhasilan yang sudah dicapai tersebut, semakin menguatkan bahwa pengembangan budi daya nila dengan sistem bioflok menjadi salah satu terobosan untuk meningkatkan produksi nila secara nasional. Teknologi tersebut diyakini bisa meningkatkan pendapatan pembudi daya secara signifikan dan tetap mengutamakan prinsip keberlanjutan.

“Penerapan teknologi ini terbukti efektif dan efisien dalam penggunaan sumber daya air dan lahan serta adaptif terhadap perubahan iklim,” tuturnya.



Apa itu Bioflok?

Bioflok adalah teknik budidaya ikan dengan bantuan bakteri baik. Begini, bioflok berasal dari bios (kehidupan) dan Flok (Gumpalan) atau gumpalan kehidupan. Gumpalan kehidupan ini berupa bakteri baik yang mengubah kotoran ikan menjadi makanan ikan.

Cara kerja bioflok kurang lebih seperti ini :

Di dasar kolam terdapat bakteri baik yang mengubah kotoran ikan menjadi pakan ikan. Untuk keperluan oksigen di air, kolam bioflok dilengkapi aerator.

infografis keunggulan bioflok

sumber: kkp.go.id

Keuntungan Sistem Bioflok

Keunggulan sistem bioflok sudah ada di infografis dari KKP di atas, selengkapnya  seperti ini :

Survival rate 90 %, ikan lebih tahan hidup.

FCR 1,03, artinya untuk menghasilkan 1kg ikan butuh 1,03 Kg pakan. ini karena kotoran diubah lagi menjadi pakan. Teknik lain 1,5.

Tebarannya 100 ekor / M3 artinya hanya butuh lahan sempit untuk memulai budidaya ikan. ini bisa 10 kali lipat dari kolam biasa.

Lebih cepat besar

waktu peliharaan singkat, hanya 2-4 bulan

Tidak perlu repot sering ganti air

Tidak bau karena kotoran ikan dimakan oleh bakteri baik.

Kelemahan Bioflok

Memerlukan aerator untuk oksigen, artinya mememerlukan listrik setiap saat. Jika aerator berhenti maka kandungan air akan kebanyan nitrat dan menjadi asam.  sebenarnya ini bukan masalah besar, biaya untuk listrik akan terganti dengan penghematan air dan pakan

Memerlukan ketelitian dan ketekunan untuk mengontrol kadar nitrat, kadar Ph, dan jumlah bioflok. Apakah terlalu pekat atau tidak. Ini juga bukan masalah karena yang namanya usaha pasti butuh ketekunan dan kerja keras.



Referensi :

https://www.minapoli.com/info/budidaya-ikan-nila-dengan-teknologi-bioflok. Diakses tanggal 31 Desember 2020

https://erakini.com/budidaya-ikan-bioflok/. Diakses tanggal 31 Desember 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Budidaya Ikan Lele dengan Media Kolam Tanah dan Tips Pemeliharaannya Budidaya ikan lele merupakan salah satu kegiatan atau usaha yang b...